Recent post
Usia muda merupakan masa keemasan dalam membangun karier dan kesuksesan. Setiap anak muda pasti ingin bisa sukses dan hidup berkecukupan sampai hari tua nanti. Oleh karenanya masa muda harus diisi dengan berbagai hal yang mendukung itu semua. Termasuk menjadi produktif, karena usia muda adalah masa yang tepat untuk bisa mengupayakan seluruh potensi diri.
Berikut ini merupakan lima langkah mudah agar kamu bisa produktif dalam membangun kesuksesan di usia muda.
1. Kerjakan pekerjaan dengan skala prioritas
Ketika mendapatkan banyak pekerjaan dalam satu waktu, maka kerjakanlah dengan skala prioritas. Artinya, jika pekerjaan tersebut terlihat sulit maka kerjakan ia terlebih dahulu. Pekerjaan yang sulit pastinya akan memakan banyak waktu dan pikiran. Sehingga buat itu menjadi prioritas utama dalam mengerjakannya, baru kemudian kerjakan yang mudah. Ketika pekerjaan yang sulit telah dikerjakan, maka pekerjaan yang mudah akan terasa jauh lebih ringan.
2. Jangan melakukan banyak hal dalam satu waktu
Banyak orang merasa cukup mampu untuk bisa menangani banyak hal dalam satu waktu. Tetapi harus diingat bahwa hal tersebut tak selamanya baik. Multitasking itu akan memecah fokus dan menjadikan kita tidak cukup waktu memikirkan hingga ke detail. Oleh karenanya, kerjakanlah satu hal dalam satu waktu. Sehingga hasil dari pekerjaan tersebut pun akan menjadi maksimal.
3. Buat jadwal untuk aktivitasmu, tetap konsisten dan disiplin
4. Ambil waktu untuk me time dan rehat sejenak
Menjadi produktif bukan berarti harus selamanya bekerja dan melakukan kegiatan. Rehat itu perlu dan menjadi bagian penting dalam produktivitas kerja. Dengan melakukan me time atau pun rehat kita dapat memikirkan berbagai ide atau kreativitas yang baru. Sehingga dapat digunakan dalam pekerjaan nantinya. Ketenangan pikiran setelah lelah bekerja adalah hal yang utama. Jadi, jangan selalu jadi workaholic ya!
5. Selalu bersyukur atas apa pun dan jangan lupa beribadah
Langkah terakhir untuk menjadi produktif adalah dengan memenuhi kebutuhan spiritual kita. Yakni dengan selalu bersyukur dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing. Percayalah setelah berusaha maksimal dalam bekerja dan berkegiatan, Tuhan menjadi tempat kita kembali. Artinya, seluruh upaya yang telah dilakukan maksimal kembalikan lagi kepada YME agar semuanya membawa kebaikan bagi diri kita dan orang lain.
Itulah langkah mudah agar kamu bisa produktif di usia muda. Tetap semangat untuk meraih kesuksesan ya!
Bentuknya tak persis sama namun serasi.
Saat berjalan terlihat tak kompak tapi tujuannya sama.
Tak pernah ganti posisi, namun saling melengkapi.
Selalu sederajat tak ada yang lebih rendah atau tinggi.
Bila yang satu hilang yang lain tak memiliki arti.
SEPATU: SEjalan samPAi TUa, hingga maut yang memisahkan.
Namun pemuda itu terlihat begitu tenang. Ia membantu dengan sabar dan menanti sang ayah selesai makan. Setelah selesai, ia membawa sang ayah ke kamar mandi, untuk dibersihkan tubuh dan pakaiannya dari kotoran. Setelah itu, ia mendudukkan ayahnya kembali di kursi, dan dengan tenang ia pun membersihkan makanan yang tercecer di sekitar meja tempat ayahnya makan, Kemudian, ia membayar tagihan makan malam pada kasir restoran itu, menghampiri ayahnya, dan menuntunnya keluar.
Pemilik restoran yang sedari tadi mencermati perilaku pelanggannya ini, bergegas keluar menyusul si pemuda yang sedang menuntun ayahnya itu. Setelah berhasil menyusul, ia berkata, “Terima kasih, Anda telah meninggalkan sesuatu yang berharga di restoranku.”
Pemuda itu balik bertanya, “Memangnya barang berharga apa yang aku tinggalkan…?”
Sambil menepuk pundak si pemuda, pemilik restoran berkata, “Engkau telah meninggalkan pembelajaran yang mahal pada kami semua, tentang luhurnya nilai berbakti kepada orang tua.”
Anak itu membayangkan ia mendengar pohon itu berkata ramah kepadanya, “Ayo panjatlah aku. Bangunlah rumah bermain kecil di atas sini. Kamu boleh menggunakan dahan kecilku jika kamu mau, juga daunku yang berlimpah.” Maka anak itu memanjat pohon itu, mematahkan beberapa ranting, mengambil dedaunan, dan membuat rumah rahasia yang tinggi di pohon itu. Meski itu menyakiti pohon, namun pohon itu bahagia berkorban sedikit untuk melihat anak itu mendapatkan begitu banyak kesenangan. Selama hari-hari yang panjang, anak itu akan bermain di dalam rumah pohon. Pohon itu puas.
Ketika anak itu tumbuh lebih dewasa, ia berhenti bermain di pohon itu. Pohon itu menjadi sedih, rantingnya merunduk dan deadunannya kehilangan kilaunya.
Selang beberapa tahun, anak yang kini remaja itu kembali. Pohon itu kegirangan melihatnya lagi. Pemuda itu merasa ia mendengar pohon itu berkata, “Ayo panjatlah aku lagi. Rumah pohon lamamu masih di sini. Aku merindukanmu.”
“Kini aku terlalu tua untuk bermain rumah pohon,’ pikir remaja itu. “Aku ingin kuliah tapi aku terlalu miskin.”
“Tidak masalah,’ pohon itu tampaknya berkata, “Kembalilah seminggu lagi. Aku akan mengeluarkan buah. Aku akan hasilkan ekstra. Silakan panen semua buahku dan juallah untuk membayar biaya kuliahmu.”
Maka anak itu kembali tujuh hari kemudian. Pohon itu dipenuhi buah ranum. Anak itu mengambil semuanya sampai buah yang terkahir, menjualnya, dan cukup untuk biaya kuliah satu tahun. Pohon itu sangat bahagia.
Anak itu kembali selama tiga tahun berikutnya, mengambil setiap buahnya dan menjualnya untuk memnuhi biayanya. Pohon itu gembira. Pohon itu bahkan kelihatannya berusaha lebih keras tiap tahunnya untuk menghasilkan lebih banyak buah untuk sahabatnya, meskipun ini membuat pohon itu kelelahan dan makin sakit.
Ketika anak itu lulus, ia berhenti datang. Pohon itu sedih lagi. Beberapa tahun kemudian, anak itu, kini menjadi pemuda, kembali. Ia memiliki kesan yang sangat jelas bahwa pohon tua itu menangis kegirangan melihatnya lagi. “Tunggu beberapa hari lagi. Walau aku kini agak lemah, aku masih bisa menghasilkan banyak buah agar kamu jual untuk biaya kuliahmu.”
“Aku tidak kuliah lagi,” kata pemuda itu, “aku sudah punya pekerjaan. Aku sudah jatuh cinta dan ingin menikah, namun kami membutuhkan rumah untuk ditinggali.”
“Tidak masalsah,” pohon itu agaknya berkata, “kembalilah besok dengan gergaji. Ambil dahan tebalku. Itu bisa untuk membuat papan lantai dan tiang yang kuat. Bahkan ada cukup kayu untuk membuat dindingnya. Gunakan dahan kecil dan daun besar untuk atapnya. Ada banyak.”
Demikianlah, hari berikutnya, pemuda itu mengambil seluruh dahan dan daun untuk membuat rumahnya, menyisakan hanya batangnya. Meski itu melukai pohon itu dengan parah, pohon itu bahagia membuat pengorbanan besar untuk seseorang yang dicintainya.
Selama bertahun-tahun, anak itu tidak pernah kembali. Pohon itu bergantung pada kenangan bahagianya untuk mempertahankan hidupnya.
Kala anak itu datang lagi, kini menjadi pria setengah baya, pohon itu nyaris melompat keluar dari tanah dengan sukacita. “Selamat datang! Sungguh bahagia melihatmu lagi!” Bahkan kali ini burung-burung pun bisa mendengar pohon itu. “Apa yang bisa kulakukan untukmu? Mohon izinkan aku membantu.”
“Aku kini punya anak,” jawab pria itu, “dan aku ingin memulai usaha perab0tanku sendiri untuk mendapat cukup uang untuk memberi mereka kehidupan yang baik.”
“Bagus sekali,” kata pohon tua itu, “meski kamu mungkin berpikir aku cuma tunggul tua, ada banyak kayu indah dalam batangku untuk membuat banyak perabot mahal. Ambillah. Aku akan bahagia jika kamu ambil semua.”
Maka pria itu datang esoknya, menebang batang pohon itu dan mendapat cukup banyak kayu kelas satu untuk memulai usaha perabotannya.
Tak lama setelahnya, pohon itu mati.
Bertahun-tahun kemudian, anak itu, kini telah menjadi orangtua, mengunjungi tempat dimana pohon yang sehat itu pernah berdiri, tempat ia membangun rumah pohon semasa ia kecil, yang selalu begitu dermawan kepadanya. Yang tersisa hanyalah akar yang melapuk. Orang tua itu membaringkan kepalanya di atas akar-akar itu sejenak . Akar itu jauh lebih nyaman daripada bantal bulu. Ia ingat dengan berurai air mata bagaimana pohon itu telah menolongnya, tanpa bertanya, tiap kali ia membutuhkan pertolongan. Bagaimana pohon itu mengorbankan segalanya untuknya, dan bahagia melakukannya setiap saat. Ia pu tertidur, Ketika ia bangun dari mimpi itu, ia menyadari bahwa pohon itu adalah orangtuanya.
Maka, di sebuah sore yang hangat, mereka pun datang bersama-sama mengunjungi sang guru. Mereka saling bercanda, mengenang masa kenakalan ketika remaja. Kemudian satu sama lain mulai berkisah tentang perjuangan hidup yang mereka lalui. Ada yang sudah jadi bos besar di perusahaan multinasional. Ada pula yang menjadi pengusaha sukses di bidang transportasi. Ada pula yang mengaku sudah melanglang buana ke hampir semua benua untuk memenuhi impiannya.
Melihat percakapan seputar kesuksesan yang sudah hampir melampaui batas, sang guru pun meminta izin untuk ke belakang rumah. Rupanya, ia mengambil beberapa cangkir kopi dan satu teko berisi kopi panas yang siap diseduh. Uniknya, cangkir yang diberikan terdiri dari beragam bentuk dan terdiri pula dari beragam bahan. Ada yang dari keramik, kristal, kaca, melamin, dan ada pula yang hanya terbuat dari plastik biasa.
“Sudah, sudah.. Ngobrolnya berhenti dulu. Ini Bapak sudah siapkan kopi buat kalian,” sebut sang guru memecah keasyikan obrolan mereka.
Hampir serempak, mereka kemudian berebut cangkir terbaik yang bisa mereka dapat. Akhirnya, di meja yang tersisa hanya satu buah cangkir plastik yang paling jelek. Lantas, setelah semua mendapatkan cangkirnya, sang guru pun mulai menuangi cangkir itu dengan kopi panas dari teko yang telah disiapkannya.
“Mari, silakan diminum,” ajak sang guru, yang kemudian ikut mengisi kopi dan meminum dari cangkir terakhir yang paling jelek. “Bagaimana rasanya? Nikmat kan? Ini dari kopi hasil kebun keluarga saya sendiri.”
“Wah, enak sekali Pak.. Ini kopi paling sedap yang pernah saya minum,” timpal salah satu murid yang langsung diiyakan oleh teman yang lain.
“Nah, kopinya enak ya? Tapi, apakah kalian tadi memperhatikan. Kalian hampir saja berebut untuk memilih cangkir yang paling bagus hingga hanya menyisakan satu cangkir paling jelek ini?” tanya sang guru.
Murid-murid itu pun saling berpandangan. Mereka bertanya-tanya, apa maksud gurunya bertanya seperti itu. Maka sang guru pun kembali meneruskan ucapannya. “Tak salah memang untuk memilih apa saja yang terbaik. Malahan, itu sangat manusiawi. Tapi masalahnya, ketika kalian tidak mendapatkan cangkir yang bagus, perasaan kalian mulai terganggu. Kalian melihat cangkir yang dipegang orang lain dan mulai membandingkannya. Akibatnya, pikiran kalian terfokus pada cangkir. Padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkir, melainkan kopinya. Dan, kalian sendiri mengaku bahwa kopi ini adalah kopi terenak. Jadi, tolong pikirkan baik-baik. Hidup kita seperti kopi dalam cangkir tersebut. Sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang kalian miliki.”
Sang guru pun kembali meneruskan wejangannya. “Karena itu, jangan pernah biarkan cangkir memengaruhi kopi yang kita nikmati. Cangkir bukanlah yang utama, sebab kualitas kopi itulah yang terpenting. Jangan berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karier yang bagus, dan pekerjaan mapan yang kalian banggakan tadi merupakan jaminan kebahagiaan. Namun sejatinya, kualitas hidup kita ditentukan oleh ‘apa yang ada di dalam’ bukan ‘apa yang kelihatan dari luar’. Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tidak pernah merasakan damai, sukacita, dan rasa bahagia dalam kehidupan kita? Itu sangat menyedihkan, karena itu sama seperti kita menikmati kopi basi yang disajikan di sebuah cangkir kristal yang mewah dan mahal. Jadi, kunci menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkirnya, tetapi seberapa bagus kualitas kopinya.”
Semua murid itu pun tertunduk malu. Mereka merasakan inilah reuni yang membuat mereka kembali “membumi”. Mereka pun berjanji, akan menjadikan pembelajaran cangkir kopi tersebut untuk menjadikan sukses yang diraih memberi kemanfaatkan kepada lebih banyak orang, dan bukannya menjebak mereka dalam kesombongan.
Sahabat ..,
Status, pangkat, kedudukan, jabatan, kekayaan, kesuksesan, keterkenalan, adalah sebuah predikat yang disandang. Tak salah jika kita mengejarnya. Tak salah pula bila kita ingin memilikinya. Namun, semua itu tak akan kita miliki selamanya. Semua hanya akan langgeng jika kita sebagai subjek—alias pemilik sejati kekayaan yang sebenarnya—memiliki kualitas dalam diri yang bersih, bernilai, bermartabat, dan penuh kebersahajaan.
Ibarat pepatah, manusia mati meninggalkan nama, maka nama seperti apa yang akan dikenang orang, itulah cerminan sejati apa yang sudah kita berikan pada sekeliling kita selama ini. “Nama” itulah “isi kopi” sesungguhnya yang harus kita jaga, rawat, dan sekaligus kita bagi untuk mendatangkan kemanfaatan pada lebih banyak orang.
Mari, kita jadikan “isi” dalam diri kita sebagai cerminan positif yang bisa selalu kita hadirkan untuk mendatangkan keberkahan, kebahagiaan, dan kesuksesan sejati.
Pemuda pertama dengan tergopoh-gopoh menjawab, “Maaf Pak. Itu karena si A teledor menghitung barang. Dan, si B di bagian pencatatan juga kurang teliti. Sedangkan saya, tak bisa apa-apa karena semua barang sudah keluar dan tak bisa ditarik lagi.” Begitulah, pemuda pertama mencari-cari alasan pembenar sehingga ia tak disalahkan.
Setelah beberapa saat, pimpinan tersebut memanggil pemuda kedua. Ia pun bertanya hal yang sama. Pemuda kedua menjawab, “Maaf Pak. Saya memang salah karena teledor kurang memberikan arahan pada B, yang mencatat data dari A saat menghitung barang. Tapi, saya mencoba mengoreksi dan sudah menghubungi pembeli untuk menjelaskan masalah ini.”
Jika Anda menjadi pimpinan, siapa yang lebih pantas Anda naikkan jabatannya? Semua orang, pasti setuju jika pemuda kedua yang aktif bergerak mempertanggungjawabkan pekerjaan dan mencari solusi akan mendapat kenaikan jabatan.
Begitulah, karakter orang memang bermacam-macam. Namun, orang yang bertanggung jawab dan memiliki keunggulan pribadi, pasti akan memiliki nilai lebih dengan semangat mencari solusi. Inilah ciri orang yang pandai atau bijak. Sebaliknya, orang yang miskin mental, akan lebih merasa nyaman dengan mencari-cari banyak alasan. Dengan alasan itu, ia akan berlindung agar tak disalahkan. Kedua hal itulah yang menjadi perbedaan dasar yang menentukan kualitas hidup seseorang.
Kisah di atas, sangat relevan dengan kondisi saat ini. Banyak orang yang sering mencari “kambing hitam” untuk disalahkan. Sementara, bagi yang mau maju, selalu berusaha mencari jawaban dan solusi atas semua persoalan. Ini sejalan pula dengan apa yang sering saya ungkapkan, “Orang sukses selalu kelebihan satu cara, orang gagal selalu kelebihan satu alasan.”
Dengan karakter selalu mencari jalan atau solusi atas semua persoalan, kita akan menemukan banyak ide brilian. Dan, dengan ide itu, ia akan segera melakukan tindakan-tindakan yang membawanya pada satu hasil yang diinginkan. Lihatlah contoh yang sudah menjadi nyata. Jika Saat ini orang sering kerepotan untuk mengisi ulang ponsel dari beberapa merek. Maka, belakangan sudah muncul inovasi pengisi ulang baterai yang bisa digunakan untuk berbagai merek sekaligus. Semua penemuan itu pastilah muncul dari orang-orang pandai yang memiliki semangat solusi.
Ada lagi contoh yang beberapa waktu lalu, muncul di iklan televisi. Ada sebuah tayangan di mana seorang sarjana yang hanya jadi tukang ojek kecurian motor yang jadi sumber mata pencariannya. Namun, berkat keterdesakan itu, ia justru memiliki ide untuk membuat alarm motor dari pemutar musik yang bisa meneriakkan kata: curi..curi.. Akhirnya, ia pun sukses dengan usaha alarm sepeda motor.
Meski hanya tokoh rekaan di iklan, kisah tersebut menjadi simbolisasi, bahwa betapa orang pandai dan orang yang kreatif mencari solusi, selalu memiliki langkah ke depan untuk mencapai sukses yang didambakan. Dan, justru dengan masalah yang timbul, ia akan memiliki pengetahuan dan ilmu tambahan dari hasil kreasi mengatasi masalah. Sebab, ia akan terus mencari dan mencari berbagai jalan untuk mengatasi persoalan. Bahkan, saat menemui kegagalan dalam mencari solusi, orang pandai tak kan mudah menyerah. Seperti air, saat mengalir dan menabrak bebatuan, air akan mencari jalan lain untuk kembali mengalir. Dengan semangat mencari jalan, kesuksesan akan makin dekat untuk menjadi kenyataan.
Mari, jadikan diri kita sebagai orang pandai yang mencari jalan—bukan mencari alasan. Sehingga, otak akan selalu terasah, ide akan selalu mengalir deras tanpa lelah, dan pengetahuan pun akan terus bertambah.
Jangkrik muda pun bertanya, “Hai, engkau siapa? Mengapa bisa menyanyi demikian merdu?”
Si burung menjawab, “Hai juga. Aku Nuri. Aku tidak tahu mengapa bisa menyanyi merdu. Tapi yang pasti, sejak kecil aku memang sudah seperti ini.”
Saat itu, dari kejauhan terdengar kembali suara nyanyian lain yang jauh lebih merdu. Jangkrik muda pun melompat-lompat menuju suara nyanyian. Tak lama, ia bertemu dengan seekor burung yang juga sedang berkicau di dahan pohon lain.
Jangkrik muda pun bertanya, “Hai, siapa namamu? Nyanyianmu lebih merdu dari si Nuri.”
“Aku Kutilang. Sejak kecil aku memang sudah banyak mengenal lagu dan belajar menyanyikannya dengan suara kicauanku.”
Namun, mendadak terdengar irama seperti seruling yang mengalun teratur. Jangkrik muda pun dengan antusias menuju ke arah suara tersebut. Sampai di situ, dia bertemu seekor jangkrik dewasa yang sedang mengerik. Katanya heran, ”Rupamu sama seperti aku! Tapi mengapa suaraku tidak bisa sepertimu?”
Jangkrik dewasa menjawab, “Kita memang sama-sama jangkrik, jadi kamu pun bisa seperti aku. Kalau mau, aku ajari.”
Jangkrik kecil pun dengan semangat mulai belajar menyanyi. Tetapi, setelah dicoba terus-menerus, suaranya tidak bisa keluar dengan nyaring. Setelah beberapa hari, jangkrik kecil mendatangi jangkrik dewasa sambil mengeluh. “Aku sudah berusaha mati-matian, tapi tetap saja belum bisa menyanyikan lagu yang indah. Aku bosan!”
Dengan sabar, jangkrik dewasa pun menjawab, “Aku sudah berlatih setiap hari terus menerus selama berbulan-bulan. Kamu baru belajar beberapa hari, mana mungkin suaramu bisa sama sepertiku? Jika kamu ingin bernyanyi lebih nyaring dari suaraku, jangan berhenti mencoba dan berlatih. Setelah pita suaramu terlatih dengan baik, maka suatu hari nanti nyanyianmu pasti akan lebih nyaring dariku.”
Mendengar jawaban tersebut, jangkrik kecil pun tersadar. Maka, saat hari sudah gelap, si jangkrik pun kembali berlatih. Bahkan, saat manusia sudah terlelap di alam mimpi, jangkrik muda makin giat berlatih menyanyi. Dan akhirnya, suatu hari terdengarlah nyanyian nyaring si jangkrik muda, kriiik-kriiik-kriiik.
Netter yang Bijaksana..
Ada banyak kesuksesan yang sering kita lihat dari orang lain. Tentu, adalah hal yang wajar jika kemudian kita mendambakan sukses yang sama. Namun, seringkali kita ingin mendapatkan sesuatu dengan cara serba cepat. Ada rintangan dan halangan sedikit saja, akan membuat kita lemah tak berdaya.
Pahami:bahwa hukum kesuksesan paling sederhana sebenarnya adalah mau berjuang sepenuh hati dengan penuh keuletan dan siap belajar dari masalah yang mendera. Ingat, semua perlu diperjuangkan, semua butuh pengorbanan, dan tak ada sukses yang diraih tanpa melalui proses kerja nyata.
Mari, terus berjuang, berkarya, dan berusaha. Jadikan setiap masa dan periode perjuangan sebagai pembelajaran untuk mencapai sukses yang sebenarnya.